Sabtu, 27 April 2013

sajak-sajak Porodisa


1.       LIDAH

Mengecap,
menjilat,
mengucap,
menjulur
Membakar,
meludah,
menghina,
menghormati,
menerangkan,
menangis,
menusuk,
menyerang
menghibur,
menyemangati,
menipu,
menegur,
menghasut,
menghamburkan kata dan liur.
Satu batang daging lunak bergerak liar ke seribu bentuk
Dunia digenggam, dunia dirontokkan, dunia dipelintir, dunia dibangun
Dunia dihadapkan pada cermin dan pedang

Perangen, 2 Juli 2007

Sabtu, 20 April 2013

Ujian Nasional, masih perlukah?



UN tingkat SMA dan SMK baru saja berlalu. Dalam prosesnya, kepada kita disodorkan kembali carut marut evaluasi negara terhadap peserta didik di seluruh Indonesia. Ujian Nasional, begitu kita menyebutnya. Di berbagai media publik kita melihat bagaimana persiapan UN mulai dari tingkat SD sampai SMA yang begitu semrawut. Ada begitu banyak daerah yang sampai jadwal pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK, belum juga mendapat naskah ujian. Di Sulawesi Utara, pelaksanaan Ujian Nasional diundur hingga hari Kamis 18 April 2013 yang sedianya dilaksanakan pada Senin, 15 April 2013. Hal ini dikarenakan distribusi naskah UN yang tidak merata dan sepertinya tanpa koordinasi yang baik.
Di kepulauan Kabupaten Kepulauan Talaud, menjelang pelaksanaan UN, ada sekolah yang sudah mendapatkan naskah lengkap, sebaliknya ada sekolah yang belum mendapatkannya sama sekali. Sungguh menyedihkan. Di lain pihak ada sekolah-sekolah yang kekurangan naskah ujian dan tidak mencukupi jumlah pesertanya. Ini terjadi pada beberapa mata pelajaran yang diujikan, yang tidak cukup, baik soal maupun lembar jawabnya. Akhirnya sekolah pelaksana mengambil inisiatif untuk menggandakan lembar soal dan jawab dengan cara difotokopi. Pada tahap ini, kerahasiaan naskah tidak lagi terjaga.
Selain itu, pelaksanaan UN yang terus dipaksakan dengan berbagai dalih, telah menggeneralisir proses belajar siswa di seluruh Indonesia. UN mendidik tiap pelaksana di masing-masing sekolah berlaku manipulatif dan memicu kompetisi pada tiap sekolah di kabupaten dan kota. Mereka masing-masing unjuk kekuatan memperlihatkan prestasi kelulusan tiap sekolah dan daerah. UN telah menjadi sarana unjuk gengsi antar daerah dan sekolah yang tidak perlu.
Untuk mempertahankan tingkat kelulusan, banyak sekolah tidak lagi menggunakan cara-cara yang layak seperti memberi tambahan jam mengajar atau les. Sebaliknya bukan rahasia lagi, ada sekolah yang melakukan berbagai upaya untuk mengetahui jawaban soal sebelum pelaksanaan ujian. Lalu, di pagi hari menjelang ujian, berseliweranlah kunci-kunci jawab yang dikerjakan oleh pihak sekolah sendiri.
Modus lain dilakukan sekolah dengan berupaya menahan naskah jawab siswa yang harusnya segera diserahkan kepada pengawas. Naskah jawab ditahan sampai sore hari, lalu dalam beberapa jam, guru-guru serupa pasukan bawah tanah bergerak diam-diam mengubah hasil jawab siswa. Hasilnya di umumkan beberapa minggu berikutnya, seluruh siswa dinyatakan lulus.
Mengapa hal ini mereka lakukan? Karena setiap sekolah menginginkan anak didiknya lulus. Para guru dan kepala sekolah rela berjibaku melakukan manipulasi, walau dengan resiko berhadapan dengan hukum. Mereka merelakan diri walau menghadapi berbagai ancaman sanksi. Karena, mereka tidak menginginkan anak didik yang mereka ajar sekian tahun, terantuk hanya oleh proses UN yang berlangsung kurang lebih empat hari.
Akibat lain yang cukup buruk adalah rusaknya mental siswa. Para siswa akhirnya tahu bahwa pada akhirnya mereka akan diselamatkan. Ini memunculkan sikap meremehkan keadaan, suka bolos pada mata pelajaran dan tidak mau belajar lagi. Mental seperti inilah yang akan mewarisi seluruh keadaan daerah dan Negara di masa depan. Sikap mental yang menganggap segala sesuatu mudah, telah disediakan, dan mengajar mereka untuk melakukan manipulasi. Dan dari sini jugalah akar korupsi di Negara kita.
Selain itu, Negara menampilkan ketidakadilan dengan tetap melaksanakan UN. Ketidakadilan itu yakni tidak meratanya materi pelajaran akibat keterbatasan guru, keterbatasan buku pelajaran dan berbagai fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan laboratorium di sekolah-sekolah di seluruh daerah di Indonesia. Jelas tidak bisa dibandingkan, kualitas siswa di kota yang memiliki sarana penunjang lengkap dengan sekolah desa. Di desa ada sekolah yang hanya memiliki tiga kelas dengan guru 4 orang termasuk kepala sekolahnya sendiri, yang harus mengajar 3 sampai 4 mata pelajaran dalam satu hari. Dengan tetap memberlakukan UN, Negara telah menggeneralisir perbedaan ini.
Hal yang ironis dalam penyelenggaraan UN di tahun-tahun sebelumnya adalah; ada siswa-siswa yang jelas pintar dengan sikap yang baik selama sekolah justru tidak lulus. Itu dikarenakan ia tidak mencontek. Sedangkan siswa lain yang kemampuannya rendah, yang banyak bermasalah dengan kehadiran di sekolah sebaliknya lulus. Di kesempatan berikut, oleh pengalaman yang terjadi di tahun sebelumnya, baik siswa berkemampuan tinggi maupun rendah sama-sama mencontek.
Mengevaluasi keadaan tersebut, saya memandang UN tidak perlu dilaksanakan lagi. Yang menentukan kelulusan siswa seharusnya sekolah tempat para siswa itu belajar dan bukan Ujian Nasional. Mengapa? Karena pihak sekolahlah yang lebih tahu siapa yang lebih layak lulus atau tidak. Hal ini tentu mengandung masalah juga berkaitan dengan standar kualitas kelulusan yang tidak terukur di setiap sekolah. Namun, itu dapat diminimalisir dengan melakukan kontrol kualitas oleh lembaga terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tiap daerah.
Jika Negara ini masih saja memberlakukan UN, maka kita kembali akan melihat manipulasi terus dilakukan oleh tiap sekolah dan tiap daerah. Gengsi sebagai sekolah dan daerah dengan tingkat kelulusan tertinggi, menjadi racun yang terus menempel di benak para petinggi. Ini harus dihentikan. Jika tidak, kita hanya akan melihat manipulasi terus berkelanjutan, menghasilkan para manipulator baru, penipu-penipu baru yang akan menjadi koruptor-koruptor baru di masa depan.

Melonguane, 20 April 2013

Minggu, 14 April 2013

Sajak-sajak Porodisa 2



1.       CINTA ANAK PULAU

Aku mencintaimu laut
Dan kau jadikan aku pulau garam di hulu sungai
Mata airpun menjadi asin,
Dicedok wajahku terpantul di gayung dan di timba
Di air garam, air pulau dan lautan

Aku berenang di buih-buih
Berteman badai dan gelombang
Hidupku di lukis air dan angin
Dengan dayung menjadi kuas
Perahunelayan melesat mencipta riak

Aku mencintaimu laut
Seperti karang menyambut ombak
Ikan dan cumi-cumi menghias percintaan kita
Dengan kepak sirip dan tinta mereka,
Kita warnai langit dengan keindahan
Dan menghadiahi pantai dengan deburan

Aku dan kau terus di sini
Ditemani matahari yang itu-itu juga
Yang setiamenjadi saksi
Percumbuan kita

Melonguanne 12 November 2010

Sajak-sajak Porodisa



 SAJAK PORODISA-1

Apakah engkau permata?
Yang melulu hijau di mata elang yang menukik
Mencari anak ayam yang terselip di antara permadani?
Tak mungkin, yang tersembunyi di balik permadani adalah kutu
Dan kau bukan kutu tapi permata hijau

Apakah engkau paus biru?
Tidak! Penghunimu bukan Yunus melainkan nelayan-nelayan tua, pelaut-pelaut muda
Penyeberang gunungan buih
Yang menyembunyikan rassa’a, noru dan Bowong Biala.
Di puncakmu mereka kibarkan layar manondong assann’a
Meretas jalan air sampai ke batas samudera
Selebar perut anak istri yang menanti di bibir pantai.
Ataukah mereka melempar sauh hingga ke Riapann’a
Karena mimpi panjang tadi malam benar-benar mimpi lama
Yang harus dipenuhi bukan oleh arangkitu
Apalagi setempurung Pann’a
Kecuali oleh barisan jejak kaki di tanah tuan Aoki
Yang ekor panjangnya tersimpan di laut biru

Melonguanne 13 Oktober 2010