UN tingkat SMA dan SMK baru saja
berlalu. Dalam prosesnya, kepada kita disodorkan kembali carut marut evaluasi
negara terhadap peserta didik di seluruh Indonesia. Ujian Nasional, begitu kita
menyebutnya. Di berbagai media publik kita melihat bagaimana persiapan UN mulai
dari tingkat SD sampai SMA yang begitu semrawut. Ada begitu banyak daerah yang
sampai jadwal pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK, belum juga mendapat naskah ujian.
Di Sulawesi Utara, pelaksanaan Ujian Nasional diundur hingga hari Kamis 18
April 2013 yang sedianya dilaksanakan pada Senin, 15 April 2013. Hal ini
dikarenakan distribusi naskah UN yang tidak merata dan sepertinya tanpa
koordinasi yang baik.
Di kepulauan Kabupaten Kepulauan
Talaud, menjelang pelaksanaan UN, ada sekolah yang sudah mendapatkan naskah
lengkap, sebaliknya ada sekolah yang belum mendapatkannya sama sekali. Sungguh
menyedihkan. Di lain pihak ada sekolah-sekolah yang kekurangan naskah ujian dan
tidak mencukupi jumlah pesertanya. Ini terjadi pada beberapa mata pelajaran
yang diujikan, yang tidak cukup, baik soal maupun lembar jawabnya. Akhirnya
sekolah pelaksana mengambil inisiatif untuk menggandakan lembar soal dan jawab
dengan cara difotokopi. Pada tahap ini, kerahasiaan naskah tidak lagi terjaga.
Selain itu, pelaksanaan UN yang
terus dipaksakan dengan berbagai dalih, telah menggeneralisir proses belajar siswa
di seluruh Indonesia. UN mendidik tiap pelaksana di masing-masing sekolah
berlaku manipulatif dan memicu kompetisi pada tiap sekolah di kabupaten dan
kota. Mereka masing-masing unjuk kekuatan memperlihatkan prestasi kelulusan
tiap sekolah dan daerah. UN telah menjadi sarana unjuk gengsi antar daerah dan
sekolah yang tidak perlu.
Untuk mempertahankan tingkat
kelulusan, banyak sekolah tidak lagi menggunakan cara-cara yang layak seperti
memberi tambahan jam mengajar atau les. Sebaliknya bukan rahasia lagi, ada
sekolah yang melakukan berbagai upaya untuk mengetahui jawaban soal sebelum
pelaksanaan ujian. Lalu, di pagi hari menjelang ujian, berseliweranlah
kunci-kunci jawab yang dikerjakan oleh pihak sekolah sendiri.
Modus lain dilakukan sekolah dengan
berupaya menahan naskah jawab siswa yang harusnya segera diserahkan kepada
pengawas. Naskah jawab ditahan sampai sore hari, lalu dalam beberapa jam, guru-guru
serupa pasukan bawah tanah bergerak diam-diam mengubah hasil jawab siswa.
Hasilnya di umumkan beberapa minggu berikutnya, seluruh siswa dinyatakan lulus.
Mengapa hal ini mereka lakukan?
Karena setiap sekolah menginginkan anak didiknya lulus. Para guru dan kepala
sekolah rela berjibaku melakukan manipulasi, walau dengan resiko berhadapan
dengan hukum. Mereka merelakan diri walau menghadapi berbagai ancaman sanksi. Karena,
mereka tidak menginginkan anak didik yang mereka ajar sekian tahun, terantuk
hanya oleh proses UN yang berlangsung kurang lebih empat hari.
Akibat lain yang cukup buruk
adalah rusaknya mental siswa. Para siswa akhirnya tahu bahwa pada akhirnya
mereka akan diselamatkan. Ini memunculkan sikap meremehkan keadaan, suka bolos
pada mata pelajaran dan tidak mau belajar lagi. Mental seperti inilah yang akan
mewarisi seluruh keadaan daerah dan Negara di masa depan. Sikap mental yang
menganggap segala sesuatu mudah, telah disediakan, dan mengajar mereka untuk
melakukan manipulasi. Dan dari sini jugalah akar korupsi di Negara kita.
Selain itu, Negara menampilkan
ketidakadilan dengan tetap melaksanakan UN. Ketidakadilan itu yakni tidak
meratanya materi pelajaran akibat keterbatasan guru, keterbatasan buku
pelajaran dan berbagai fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan
laboratorium di sekolah-sekolah di seluruh daerah di Indonesia. Jelas tidak
bisa dibandingkan, kualitas siswa di kota yang memiliki sarana penunjang
lengkap dengan sekolah desa. Di desa ada sekolah yang hanya memiliki tiga kelas
dengan guru 4 orang termasuk kepala sekolahnya sendiri, yang harus mengajar 3
sampai 4 mata pelajaran dalam satu hari. Dengan tetap memberlakukan UN, Negara
telah menggeneralisir perbedaan ini.
Hal yang ironis dalam
penyelenggaraan UN di tahun-tahun sebelumnya adalah; ada siswa-siswa yang jelas
pintar dengan sikap yang baik selama sekolah justru tidak lulus. Itu
dikarenakan ia tidak mencontek. Sedangkan siswa lain yang kemampuannya rendah,
yang banyak bermasalah dengan kehadiran di sekolah sebaliknya lulus. Di
kesempatan berikut, oleh pengalaman yang terjadi di tahun sebelumnya, baik
siswa berkemampuan tinggi maupun rendah sama-sama mencontek.
Mengevaluasi keadaan tersebut, saya
memandang UN tidak perlu dilaksanakan lagi. Yang menentukan kelulusan siswa
seharusnya sekolah tempat para siswa itu belajar dan bukan Ujian Nasional.
Mengapa? Karena pihak sekolahlah yang lebih tahu siapa yang lebih layak lulus
atau tidak. Hal ini tentu mengandung masalah juga berkaitan dengan standar
kualitas kelulusan yang tidak terukur di setiap sekolah. Namun, itu dapat
diminimalisir dengan melakukan kontrol kualitas oleh lembaga terkait, dalam hal
ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tiap daerah.
Jika Negara ini masih saja
memberlakukan UN, maka kita kembali akan melihat manipulasi terus dilakukan
oleh tiap sekolah dan tiap daerah. Gengsi sebagai sekolah dan daerah dengan
tingkat kelulusan tertinggi, menjadi racun yang terus menempel di benak para
petinggi. Ini harus dihentikan. Jika tidak, kita hanya akan melihat manipulasi
terus berkelanjutan, menghasilkan para manipulator baru, penipu-penipu baru
yang akan menjadi koruptor-koruptor baru di masa depan.
Melonguane, 20 April 2013